3.
Entah pada bulan yang ke berapa puluh, aku berada
sekarang
Tersimpuh di sudut ruangan yang mulai redup,
dingin. Aku memeluk diriku sendiri demi mengusir sadisnya cuaca. Aku menjilat
air mata yang mengalir begitu derasnya di pipiku yang memerah.
Aku marah. Entah hingga kapan dan sampai di mana
aku akan menyudahi semua kebodohan ini, kebodohan yang sepertinya sudah
mendarah daging.
Aku marah. Tapi aku tidak tahu kepada siapa
kutujukan amarahku ini. Aku takut menyalahkan Tuhan. Menyalahkanmu pun terlalu
menguras energi. Jadi kuputuskan saja ini hanya persoalan waktu.
Tapi, aku tetap marah. Kenapa waktu tak kunjung
mengantarkanku pada arah yang mebahagiakan? Kenapa ia seakan mempermainkanku di
sini?
Otakku tak sanggup berpikir sekarang, hatiku
lebih menguasai diri saat ini.
Tangisanku ibarat lagu yang melantun mengiringi
film yang berputar di kepalaku. Di mana film yang menunjukkan betapa bahagianya
aku ketika itu, seakan tak ada beban dalam hidup.
Dan tiba-tiba kepalaku terasa berat, tak kuat
memutar film itu lebih lama. Aku terjatuh, dan serentetan adegan film terkutuk
pun berputar di kepalaku. Dan aku menangis lagi. Film yang kusebut terkutuk
itulah yang merupakan realita hidupku saat ini.
Aku lelah. Aku lelah berdiri di sini. Aku
kedinginan. Aku pegal memeluk tubuhku yang kelebihan berat badan ini.
Aku muak dengan semua ini.
Aku jenuh.
Bunuh saja aku, Tuhan.
Atau hidupkan aku kembali dalam wujud yang bukan “Aku” sekarang.
Jadikan ini hanya mimpi buruk saja, jangan
mimpiku. Tapi mimpi orang lain.
Ruang tamu,
16 Mei 2016
20.58 PM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar